Pendidikan Mitigasi Bencana Berawal dari Persepsi
JAKARTA, KOMPAS — Pendidikan mitigasi bencana yang terpadu, menyeluruh, dan mendasar tidak bisa diwujudkan hanya dengan bertumpu pada kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Gerakan masyarakat sadar mitigasi juga harus digalakkan dan didukung dengan penyadaran persepsi masyarakat terhadap arti kebencanaan.
“Saat ini, untuk pendidikan kebencanaan baru dibebankan kepada Direktorat Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (PKLK Kemendikbud) yang baru bertindak setelah bencana terjadi,” kata pakar pendidikan Ella Yulaelawati ketika ditemui di Bekasi, Jawa Barat, pada hari Rabu (2/1/2019).
Ella yang juga mantan Direktur Pendidikan Anak Usia Dini Kemdikbud menjelaskan, apabila ingin efektif, aturan soal mitigasi bencana dimasukkan ke dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Akan tetapi, hal itu akan memakan waktu lama. Untuk sementara, pemerintah bisa mengeluarkan instruksi presiden sebagai payung hukum semua sektor pemerintahan agar mengalokasikan anggaran, sumber daya manusia, dan program mitigasi bencana.
“Pendidikan masyarakat dan keluarga selain dari Kemdikbud juga bersinergi dengan RT, RW, karang taruna dan PKK yang berada di bawah naungan pemerintah daerah. Mereka diberi pemahaman dan keterampilan mitigasi serta penanganan bencana,” tuturnya.
Ubah persepsi
Ella menjelaskan, langkah pertama yang harus dilakukan dalam pendidikan mitigasi bencana adalah mengubah persepsi masyarakat, terutama guru. Ia mengamati, pandangan masyarakat terkait bencana saat ini banyak yang kontraproduktif seperti menganggap bencana sebagai takdir, azab Tuhan, akibat pelanggaran ritual mistis. Belakangan malah muncul tren wisata bencana, yaitu ketika orang-orang datang ke tempat bencana demi berswafoto.
“Selama pandangan guru terhadap bencana tidak berbasis ilmiah dan sosial, jangan harap pendidikan mitigasi bencana bisa berjalan di sekolah,” kata Ella.
Pendidikan mitigasi bencana tidak membutuhkan materi baru di dalam kurikulum, melainkan kemampuan guru mengintegrasikan permasalahan di lingkungan sekitar ke dalam semua mata pelajaran guna menumbuhkan kesadaran siswa tentang pentingnya menjaga lingkungan. Metode simulasi dan praktikum dilakukan di dalam kehidupan sehari-hari di sekolaj seperti menjaga kebersihan, melakukan penanaman pohon dengan bekerja sama penduduk sekitar, dan membangun sistem berkesinambungan di wilayah dengan semua dinas maupun komunitas.
Pola tersebut dipraktikkan oleh Keluarga Peduli Pendidikan (Kerlip). Mereka melakukan advokasi, pelatihan, dan pendalaman materi ke sekolah-sekolah. Koordinator Divisi Penelitian dan Pengembangan Kerlip Zam Zam Muzaki mengungkapkan, Kerlip Kota Bandung, Jawa Barat sudah memasukkan mitigasi bencana ke dalam sistem pendidikan di sekolah, mulai dari TK hingga SMA.
“Untuk wilayah lain masih sporadis. Pelatihan yang meminta bantuan Kerlip sebagai pemateri kebanyakan diadakan mandiri oleh sekolah, baru ada beberapa kabupaten/kota yang berinisiatif membangun sistem mitigasi,” ucapnya.
Zam Zam yang juga teknisi ahli kebencanaan untuk Sekretariat Nasional Satuan Pendidikan Aman Bencana Kemendikbud menuturkan, terdapat 37.000 sekolah berada di lokasi dengan kerawanan bencana yang tinggi. Sekolah-sekolah ini terletak dekat dengan pantai maupun tepat di kaki perbukitan yang rentan terkena tsunami, longsor, maupun banjir rob.
Sekolah tersebut menjadi prioritas pendekatan Kerlip. Pembekalan berupa membangun kesadaran memastikan lingkungan yang rusak diperbaiki dengan melibatkan warga sekolah serta cara menyelamatkan diri serta bertahan hidup dalam keadaan darurat saat bencana terjadi.
Sementara itu, Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia M Ramli Rahim mengakui belum semua guru memiliki wawasan mitigasi bencana. Harus ada kerja sama dengan pihak-pihak yang bisa menjelaskan kebencanaan kepada organisasi guru agar mereka bisa menyusun pendekatan keterampilan yang tepat untuk tiap-tiap wilayah.
Modul disinkronkan
Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat Kemdikbud Harris Iskandar mengatakan, pihaknya serta Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kemdikbud tengah membuat modul pendidikan mitigasi bencana. Namun, konsep dari Kemdikbud perlu juga disinkronkan dengan modul yang dikembangkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Hal ini perlu agar konsepsi dari para pemangku kepentingan padu, tidak parsial, dan tak sporadis. ”Selain dari pusat, spesifikasi kebutuhan modul pada akhirnya juga ditentukan pemerintah wilayah masing-masing yang paling memahami risiko bencana di daerah mereka,” ujarnya.